Bacatrend, Jakarta – Fenomena ritel yang gulung tikar semakin marak terjadi di Indonesia.

Dari pusat perbelanjaan hingga gerai ritel besar, banyak yang terpaksa menutup operasionalnya akibat penurunan daya beli masyarakat. Apa yang sebenarnya menjadi penyebab utama dari krisis ini?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan ke level 4,89% pada kuartal I/2025, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 4,98%.

Pelemahan ini berdampak langsung pada industri ritel, yang semakin sulit menarik pembeli.

Menurut Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, fenomena penutupan gerai ritel merupakan dampak dari melemahnya daya beli masyarakat.









“Tidak hanya ritel supermarket saja, tetapi pusat perbelanjaan juga mengalami penurunan yang sama,” ujar Andry.

Selain daya beli yang melemah, tingginya biaya operasional juga menjadi faktor utama yang membuat banyak gerai ritel tak mampu bertahan.

Ketua Umum Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, mengungkapkan bahwa beberapa ritel kesulitan bersaing dengan kompetitor yang memiliki lebih banyak toko.

“Mungkin biaya operasionalnya terlalu besar. Misalnya, tokonya cuma 10, tidak bisa bersaing dengan yang memiliki lebih banyak cabang,” jelas Budihardjo.

Selain itu, perubahan pola belanja masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri bagi industri ritel.

Konsumen kini lebih selektif dalam membelanjakan uang mereka, dan banyak yang beralih ke platform online untuk mencari harga yang lebih kompetitif.

Meski banyak gerai ritel yang tutup, beberapa pusat perbelanjaan justru tetap ramai karena mampu menawarkan pengalaman belanja yang berbeda.

Wakil Ketua Dewan Pembina Asosiasi Perusahaan Penyedia Belanja Indonesia (APPBI), Stefanus Ridwan, menekankan pentingnya inovasi dalam industri ritel.

“Yang membuat ramai bukan hanya ekonomi, tetapi apakah mal atau gerai bisa memenuhi keinginan pengunjung sekarang, salah satunya adalah pengalaman belanja,” kata Stefanus.

Menurutnya, pusat perbelanjaan yang tidak beradaptasi dengan tren baru akan semakin terhimpit persaingan.

Merosotnya daya beli masyarakat dan tingginya biaya operasional menjadi kombinasi yang mematikan bagi industri ritel. Jika tidak ada langkah strategis dari pelaku usaha dan dukungan kebijakan dari pemerintah, maka gelombang penutupan gerai ritel bisa terus berlanjut.

Apakah industri ritel mampu bangkit dari krisis ini? Hanya waktu yang bisa menjawab. Yang jelas, inovasi dan adaptasi menjadi kunci utama untuk bertahan di tengah perubahan pola konsumsi masyarakat.