Bacatrend, Surabaya – Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) telah menetapkan dua tersangka terkait dugaan korupsi dalam pengadaan tanah untuk pengembangan kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema). Kedua tersangka tersebut adalah AS, mantan Direktur Polinema periode 2017–2021, serta HS, pihak penjual tanah.

Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Jatim, Windhu Sugiarto, status tersangka ini ditetapkan berdasarkan dua surat perintah penyidikan yang diterbitkan pada 3 Januari dan 11 Juni 2025. Windhu menjelaskan bahwa kasus ini berhubungan dengan pengadaan lahan yang dilakukan dalam anggaran tahun 2019–2020.

“Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Polinema yang terjadi pada tahun anggaran 2019 hingga 2020,” ujar Windhu, Rabu (11/6).

Ia menambahkan bahwa proses pengadaan tanah diduga tidak sesuai ketentuan hukum, dengan sejumlah pelanggaran prosedur dan administratif. Salah satu temuan utama adalah tidak adanya panitia resmi dalam transaksi tersebut, serta penentuan harga tanah yang dilakukan tanpa penilaian dari jasa appraisal.

“Pengadaan tanah dilakukan tanpa melibatkan panitia resmi yang dibentuk. Penentuan harga tanah tidak berdasarkan penilaian jasa appraisal, melainkan berdasarkan penilaian pribadi AS,” ungkap Windhu.









Lahan seluas 7.104 meter persegi itu disepakati dengan harga Rp6 juta per meter persegi, sehingga total pembelian mencapai Rp42,624 miliar. Namun, transaksi ini dilakukan saat sebagian bidang tanah belum bersertifikat, serta tanpa surat kuasa dari seluruh pemilik lahan.

Proses pembayaran uang muka juga dinilai bermasalah. Windhu menjelaskan bahwa pembayaran awal sebesar Rp3,87 miliar dilakukan pada 30 Desember 2020 menggunakan dokumen yang dibuat secara backdate, termasuk surat keputusan panitia, notulen rapat, hingga akta jual beli.

“Dari total harga pembelian, uang muka sebesar Rp3,87 miliar dibayarkan pada 30 Desember 2020 menggunakan dokumen yang dibuat secara backdate,” ucapnya.

Meski demikian, pembayaran tetap berlanjut hingga mencapai Rp22,6 miliar, tanpa adanya pencatatan hak atas tanah oleh Polinema. Selain itu, sebagian besar tanah yang dibeli diketahui masuk dalam zona ruang manfaat jalan dan badan air serta berbatasan langsung dengan sempadan sungai, sehingga tidak sesuai untuk pembangunan gedung kampus.

Sebagian dana yang telah dibayarkan—Rp4,3 miliar dan Rp3,1 miliar—dititipkan kepada notaris dan internal Polinema untuk membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Windhu menegaskan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum seharusnya tidak dikenakan BPHTB.

“Akibat perbuatan tersebut, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp22,624 miliar,” tuturnya.

AS dan HS kini telah ditahan oleh Kejati Jatim dan dikenakan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta pasal-pasal terkait dalam KUHP.