Bacatrend, Surabaya – Selama berabad-abad, Surabaya dikenal dengan ikon legendarisnya: Suro dan Boyo—hiu dan buaya yang bertarung di muara Sungai Kalimas. Tapi kini, dari jantung Surabaya Barat, seekor Ayam Jago bangkit menantang dominasi dua predator itu.

Bukan sekadar patung, melainkan simbol sejarah yang nyaris terlupakan: jejak Joko Berek alias Raden Sawunggaling, sang pembabat alas yang membuka jalan bagi lahirnya Kota Pahlawan.

Monumen Ayam Jago setinggi tujuh meter kini berdiri gagah di Kelurahan Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri. Letaknya tak jauh dari makam Raden Sawunggaling, seolah menjadi penjaga abadi dari kisah yang selama ini hanya beredar dari mulut ke mulut para sesepuh.

Legenda Sang Pembabat Alas
Joko Berek bukan tokoh biasa. Ia adalah anak dari Adipati Jayengrono, penguasa Kadipaten Surabaya, dan Dewi Sangkrah, perempuan desa Lidah Donowati yang memikat sang adipati saat berburu di hutan Surabaya Barat. Sebelum kembali ke kedaton, Jayengrono menitipkan selendang kuning kepada Dewi Sangkrah sebagai tanda pengenal bagi anaknya kelak.









Saat dewasa, Joko Berek berangkat mencari ayahnya, ditemani ayam jago kesayangannya yang bernama Bagong. Di gerbang Kadipaten, ia ditantang dua saudara tirinya—Sawungrana dan Sawungsari—untuk adu ayam dan memanah. Ia menang. Ia diakui. Tapi perjuangannya baru dimulai4.

Jayengrono menantangnya membabat hutan Wonokromo, wilayah yang kelak menjadi cikal bakal Surabaya. Dengan keberanian dan keteguhan, Joko Berek menaklukkan rimba, membuka jalan bagi peradaban. Ia kemudian diangkat sebagai Jayengrono IV, meski tak lama kemudian harus menghadapi intrik VOC dan saudara tirinya yang bersekongkol untuk meracuninya.

Ayam Jago: Simbol Kemenangan dan Kearifan Lokal
Ayam jago bukan sekadar hewan peliharaan. Dalam kisah Joko Berek, ia adalah simbol keberanian, keteguhan, dan kemenangan. Setiap kali diadu, ayamnya menang. Setiap tantangan, ia tak gentar. Maka tak heran jika warga Lidah Wetan meminta kepada Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi agar monumen Ayam Jago dibangun kembali—menghidupkan kembali simbol yang pernah hilang di masa kolonial Belanda2.

Monumen ini bukan hanya penanda sejarah, tapi juga harapan baru. Dibangun oleh seniman lokal dalam waktu tiga pekan, monumen ini menjadi titik awal pengembangan wisata sejarah, religi, dan edukasi anak-anak di Surabaya Barat5.

Dari Lidah Donowati ke Lidah Wetan: Wisata Sejarah yang Bangkit
Ketua LPMK Lidah Wetan, M. Andi Bocor, menyebut monumen ini sebagai pengingat bahwa Lidah Donowati—nama lama Lidah Wetan—adalah tempat kelahiran Joko Berek. “Monumen ini bukan hanya simbol, tapi petunjuk bahwa kita berada di tanah kelahiran sang pembabat alas,” ujarnya.

Warga pun menggelar kirab napak tilas setiap tahun, berjalan kaki dari Lidah Wetan ke Balai Kota Surabaya, menagih janji sejarah yang akhirnya ditepati pada 2025.

Monumen Ayam Jago kini berdiri menantang, bukan untuk menggantikan Suro dan Boyo, tapi untuk melengkapi narasi besar tentang asal-usul Surabaya. Di balik kokoknya, tersimpan kisah tentang anak muda yang menantang takdir, membabat hutan, dan membangun kota. Dan kini, dari Lidah Wetan, suara ayam jago itu kembali bergema—mengingatkan kita bahwa keberanian bisa datang dari seekor ayam dan seorang anak yang tak gentar mencari kebenaran.