Bacatrend, Jakarta – Di balik kepulan asap dan aroma yang menguar dari dapur, ada sebuah perjalanan panjang menuju cita rasa yang sempurna.

Kepala kambing, yang bagi sebagian orang mungkin terdengar ekstrem, justru menyimpan kekayaan rasa dan tradisi yang tak tergantikan.

Namun, sebelum bisa menikmati kelezatannya dalam seporsi gulai yang memanjakan lidah, ada satu tantangan besar yang harus ditaklukkan: membersihkan kepala kambing hingga bebas bau prengus.

Langkah pertama adalah membakarnya di atas api terbuka, membiarkan lidah-lidah api menjilat setiap helai bulu yang masih menempel, menghadirkan aroma khas yang mengingatkan pada dapur-dapur tradisional tempo dulu.

Saat kulitnya menghitam, bagian kepala harus segera disikat, digosok dengan penuh ketelatenan hingga lapisan paling luar kembali bersih.









Namun perjalanan belum berakhir. Air mendidih menjadi ujian berikutnya—kepala kambing direbus berulang kali, tiga hingga empat kali, untuk memastikan bau prengus perlahan luruh, digantikan dengan kelembutan tekstur yang siap menyerap rempah.

Rahasia pamungkasnya? Jahe, serai, dan daun salam. Ketiga rempah ini bukan hanya sekadar bumbu, tetapi jimat ampuh yang mampu menaklukkan aroma yang tidak diinginkan.

Saat kepala kambing siap diolah, babak baru pun dimulai. Gulai kepala kambing bukan sekadar makanan, melainkan warisan rasa yang kaya, penuh rempah dan sejarah.

Proses memasaknya adalah sebuah ritual, dimulai dengan menumis bumbu halus—bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, ketumbar, dan cabai—hingga harum menggoda.

Santan kental kemudian dituang perlahan, membiarkan tiap tetesnya meresap ke dalam daging, menghasilkan kuah yang pekat dan kaya rasa.

Ketika gulai kepala kambing akhirnya tersaji di meja, kepulan asapnya masih hangat, mengundang rasa lapar yang tak tertahankan.

Tiap suapan adalah sebuah cerita, tiap gigitan menghadirkan nostalgia akan dapur nenek moyang—tempat di mana makanan bukan sekadar santapan, tetapi sebuah perjalanan rasa dan kenangan.