Sengkarut PT Sritex Berawal dari Masa Kejayaan hingga Pailit
Bacatrend, Jakarta – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) pernah menjadi ikon dalam industri tekstil Indonesia.
Berdiri sejak 1966, perusahaan yang berawal dari sebuah toko kain di Solo ini berkembang pesat dan sempat dikenal sebagai produsen seragam militer untuk berbagai negara.
Namun, di balik sejarah kejayaannya tersimpan rangkaian masalah manajemen dan keuangan yang akhirnya menjebak perusahaan dalam kasus kepailitan yang dramatis.
Jejak Kejayaan yang Kini Memudar
Pada masa kejayaannya, Sritex tidak hanya melayani pasar domestik tetapi juga menembus pasar internasional melalui pesanan seragam militer dan produk tekstil berkualitas tinggi.
Perusahaan ini pernah menjadi andalan bagi sejumlah pelanggan besar, bahkan dipercaya oleh negara-negara di Eropa dan Asia untuk memenuhi kebutuhan militer mereka.
Keberhasilan itu melambangkan ambisi dan inovasi dalam industri tekstil Indonesia, serta menjadi kebanggaan nasional. Namun, arah yang gemilang itu kemudian tersesat akibat dinamika internal serta tantangan global yang tak terelakkan.
Awal Mula Krisis: Masalah Keuangan dan PKPU
Permasalahan mulai mencuat ketika Sritex tidak lagi mampu menjaga arus kas dan memenuhi kewajiban pembayarannya.
Sejak tahun 2021, perusahaan ini memasuki status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai upaya untuk merestrukturisasi hutang yang kian menumpuk.
Data menunjukkan bahwa nilai utang Sritex mencapai angka fantastis, yakni Rp32,6 triliun, dengan rincian tagihan kreditur yang sangat memberatkan—di antaranya Tagihan Kreditor Preveren senilai Rp691,423,417,057; Tagihan Kreditor Separatis sebesar Rp7,201,811,532,198,03; serta Tagihan Kreditor Konkuren yang mencapai Rp24,738,903,776,907,903.
Kelemahan dalam pengelolaan keuangan dan kegagalan menjamin transparansi membuat masalah semakin membesar, membuka jalan bagi berbagai gugatan yang akhirnya berujung pada pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.
Titik Balik: Kepailitan dan Dampaknya
Pada 21 Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang resmi menyatakan Sritex pailit.
Keputusan tersebut merupakan titik balik dramatis yang menandai berakhirnya era kejayaan perusahaan.
Akibatnya, operasional Sritex dihentikan secara bertahap—operasi terakhir tercatat pada 28 Februari 2025, dan penutupan penuh operasional pun dilakukan per 1 Maret 2025.
Kepailitan ini tidak hanya berdampak pada pihak kreditur, tetapi juga menjerat ribuan karyawan dalam pemutusan hubungan kerja (PHK).
Banyak karyawan kini terjebak dalam persoalan hak pesangon dan tunjangan yang belum terpenuhi.
Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pemberian Kredit
Di balik keruntuhan finansial tersebut, muncul pula isu dugaan korupsi yang semakin memperkeruh suasana. Selasa 20 Mei 2025 malam, Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap Direktur Utama Sritex, Iwan Lukminto, dengan dugaan terkait korupsi pemberian kredit bank.
Penangkapan yang dilakukan di Solo itu menjadi babak baru dalam serangkaian upaya pengungkapan penyimpangan internal perusahaan. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Febrie Adriansyah, mengonfirmasi penangkapan tersebut dengan menyatakan, “Betul, malam tadi di tangkap di Solo,”.
Tinggalkan Balasan